Senin, 14 November 2011


Tugas Pengantar Ilmu Kesejahteraan Sosial:
1)    Pendekatan Residual
2)    Pendekatan Instutisional
3)    Pendekatan Ddevelopmental (Pengembangan)

1.  Pendekatan Residual
Pandangan residual menyatakan bahwa pelayanan social baru perlu diberikan hanya apa bila kebutuhan individu tidak dapat di penuhi dengan baik oleh lembaga – lembaga yang ada di masyarakat, seperti institusi keluarga dan ekonomi pasar. Bantuan financial dan social sebaiknya diberikan dalam jangka pendek,pada masa kedaruratan ,dan harus di hentikan manakala individu atau lembaga-lembaga kemasyarakatan tadi dapat berfungsi kembali. Di Amerika Serikat ,program-program Bantuan Public (public assistance), seperti Supplemental Security Income (SSI),General Assistance,Medicaid,Food Stamps,Housing Assistance,dan Aid to Families with Dependent Children (AFDC) –kini menjadi Temporary Assistance for Needy Families (TANF) (Chambers,2000),adalah beberapa contoh program residual dalam penanggulan kemiskinan.

Perspektif residual sangat dipengaruhi ideology konservatif (berasal dari kata kerja “to conserve” atau “ memelihara” atau “mempertahankan”) yang cenderung menolak perubahan (Parsons et.al.,1994; Zastrow,2000). Menurut ideology ini tradisi dan kepercayaan yang berubah cepat akan menghasilkan dampak negative, ketimbang positif. Dalam konteks ekonomi, penganut konservativ melihat bahwa pemerintah tidak perlu melakukan intervensi terhadap bekerjanya pasar. Dari pada mengatur bisnis dan industry,pemerintah lebih baik mendukungnya melalui pemberian insentif pajak. Ekonomi pasar bebas adalah cara paling baik untuk menjamin kemakmuran dan pemenuhan kebutuhan individu. Welfare state yang berwajah rudimentary, selektivitas dan melibatkan pendekatan means-tested kemudian di yakini oleh parah residualist sebagai model yang tepat dijalankan dalam system kesejahteraan social suatu negara (lihat Spicker,1995; Suharto 2005c).

Perspektif residual sering disebut sebagai pendekatan yang “menyalahkan korban” atau blaming the victim approach. Masalah sosial , termasuk kemiskinan,disebabkan pleh kesalahan-kesalahan individu dan karenanya menjadi tanggung jawabnya dirinya, bukan system sosial. Metode pekerjaan sosial dalam mengatasi masalah sosial melibatkan pendekatan klinis dan pelayanan langsung yang ditujukan untuk membantu orang menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Program-program pengentasan kemiskinan yang bergaya Jaring Pengaman Sosial (JPS) atau subsidi BBM adalah “ anak kandung” faham residual. Penerima pelayanan sosial di anggap sebagai klien,pasien,orang yang tidak mampu menyesuaikan diri atau bahkan penyimpang (deviant) (Parsons et.al.,1994)

2.  Pendekatan Institusional

Berbeda dengan perspektif residual yang memandang pelayanan sosial sebagai charity for unfortunates ,pendekataninstitusional melihat sistem dan usaha kesejahteraan sosial sebab fungsi yang tepat dan sah dalam masyarakat modern. Pelayanan sosial dipandang sebagai hak warga negara. Program pengentasan kemiskinan di AS yang berbentuk Asuransi Sosial (social insurance), misalnya Old Age,Survivors, Disability, and Health Insurance (OASDHI); Medicare: Unemployment Insurance; dan Workers’Compensation Insurance adalah manifestasi dari pembangunan kesejahteraan sosial yang berbasis pendekatan institusional.

Perspektif instutisional dipengaruhi oleh ideology liberal yang percaya bahwa perubahan pada umunya adalah baik dan senantiasa membawa kemajuan (Parsons et.al.,1994; Zastrow,2000). Masyarakat dan ekonomi pasar memerlukan pengaturan guna menjamin kompetisi yang adil dan setara di antara bebagai kepentingan. Karena negara dipandang merefleksikan kepentingan-kepentingan warganya melalui perwakilan-perwakilan kelompok,maka pemerintah dibenarkan untuk mengatur dan memberikan pelayanan sosial. Perspektif ini sangat mendukung model welfare state  yang bersifat universal. Program-program pemerintah,termasuk program kesejahteraan sosial dipandang penting untuk memenuhi kebutuhan dasar kemnusiaan secara luas dan berkelanjutan. Seperti dinyatakan Zastrow (2000:14) para penganut paham liberal meyakini bahwa “ …government regulation and intervention are often required to safeguard human rights, to control the excess of capitalism, and to provide equel chances for success. They emphasize egalitarianism and the rightsof minorities.” Menariknya sikap seperti ini justru bebeda dengan paham para ekonom pemuja neo-liberalisme yang cenderung mendukung pasar bebas.globalisasi,dan laissez-faire policy sebagaimana di anut para politisi dari kalangan konservatis.

Selain dipengaruhi ideology liberal,perspektif instutisional juga dekat dengan ideology radikal. Dalam konteks ini,perspektif instutisional termasuk dalam gugus pendekatan “yang menyalahkan sistem”(blaming the system approach) (Parsosn et.al.,1994). Individu dan kelompok dipandang sebagai warga negara yang sehat,aktif dan parsipatif. Kemiskinan bukan di sebabkan oleh kesalahan individu. Melainkan , produk dari sistem sosial yang tidak adil ,menindas,sexist dan rasis yang kemudian membentuk sistem kapitalis. Metoda pekerjaan sosial yang sering digunakan mencakup program-program pencegahan, pendidikan,pemberdayaan dan penguatan struktur-struktur kesempatan. Tiga bentuk program pemerintah yang umum ditekankan oleh pendekatan institusioanal meliputi: penciptaan distribusi pendapatan; stabilisasi mekanisme pasar swasta; dan penydiaan”barang-barang public “tertentu (pendidikan,kesehatan,perumahan sosial,rekreasi), yang tidak dapat di sediakan oleh  pasar secara efisien (Parsons et.al.,1994)


3.  Pendekatan Developmental (Pengembangan)

Selama bertahun-tahun telah terjadi perdebatan seru antara penganut ideology liberal/instutisoinal dengan penganut ideology konservatif/residual. Kaum instutisional mengkritik pendekatan residual sebagai perspektif kesejahteraan yang tidak sejalan dengan kewajiban negara (state obligation). Negara wajib menyediakan bantuan jangka panjang dan struktur kepada konstituen mereka,terutama kelompok lemah, miskin dan kurang beruntung (disadvantegd groups) yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya secara mandiri dan adekuat. Skema bantuan sosial residual yang mensyaratkan test penghasilan (means-tested approach) dikritik sebagai sistem kesejahteraan sosial yang melahirkan stigma dan poverty trap kepada para penerimanya.

Skema pelayanan sosial means –tested umumnya hanya diberikan kepada orang miskiin yang memiliki pendapatan tertentu atau dibawah garis kemiskinan yang telah ditetapkan. Misalkan garis kemiskinan yang di tetapkan  adalah Rp.100.000 per bulan. Maka hanya orang yang berpendapatan di bawah garis kemiskinan itulah yang berhak menerima pelayanan sosial. Akibatnya, skema ini menimbulkan stigma,karena penerima pelayanan sosial selalu diidentikan dengan orang miskin dan tidak mampu. Apa bila orang tersebut suatu ketika mendapat pekerjaan dengan upah ,katakanlah Rp.110.000 per bulan ,secara otomatis dia harus melepaskan bantuan sosial yang diterimanya. Kondisi ini sering para penerima pelayanan sosial untuk tetap tidak bekerja,terutama jika upahnya hanya lebih sedikit dari standar kemiskinan. Situasi ini seperti inilah yang kemudian di sebut sebagai “jebakan kemiskinan”, karena orang miskin terpaksa atau dipaksa untuk terus hidup di bawah garis kemiskinan.

Sebaliknya,kelompok residual juga tidak henti-hentinya mengkritik pendekatan institusional. Pendekatan ini di pandang telah melahirkan model welfare state yang boros,tidak ekonomis dan menciptakan ketergantungan kepada pemerintah yang berkuasa. Para penerima pelayanan sosial menjadi malas,manja dan tidak mau bekerja agar dapat member kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat.

Konsepsi pembangunan sosial yang diajukan Midgley (1995) dalam buku Social Development: The Developmental Perspective in Social Welfare (1995) menawarkan pendekatan alternative,yakni perspektif pengembangan (developmental perspective) yang memaduka aspek-aspek positif dari pendekatan residual maupun instutisional (Zastrow, 2000). Perspektif pengembangan ini sering disebut juga sebagai pendekatan pembangunan sosial yang oleh Midgley (1995:25) didefinisikan sebagai “a process of planned social change designed to promote the well-being of population as a whole in cinjuction with a dnamyc process of economic development”.

Perspektif pengembangan sejalan dengan ideologi liberal dan pendekatan institusional. Ia mendukung pengembangan program-program kesejahteraan sosial. Peran aktif pemerintah ,serta pelibatan tenaga-tenaga professional  dalam  perencanaan sosial. Menurut Midgley (2005:205):

Selain menfasilitasi dan mengarahkan pembangunan sosial,pemerintah juga seharusnya memberikan kontribusilansung pada pembangunan sosial lewat bermacam kebijakan dan program sektor publik. Perspektif instutisional membutuhkan bentuk organisasi formal yang bertanggung jawab untuk mengatur usaha pembangunan sosial dan mengharmoniskan implementasi dari berbagai pendekatan strategis yang berbeda. Organisasi sepeti ini berada pada tingkat yang berbeda tetapi tetap harus mengkoordinasikan pada tingkat nasional. Mereka juga mempekerjakan  tenaga spesialis yang telah terlatih dan terampil untuk mendukung tercapainya tujuan pembangunan sosial.

Pendekatan pengembangan juga tidak menentang ideology konservatif dan pendekatan residual, karena menyatakan bahwa pengembangan  program-program kesejahteraan sosial tertentu akan memiliki dampak positif terhadap ekonomi (di AS,politisi aliran konservatif umumnya menolak program-program kesejahteraan sosial karena di pandang akan membawa dampak negatif terhadap pembangunan ekonomi) (Zastrow,2000:15). Ini sejalan dengan ide Tittmus (1974),”Mbahnya”kebijakan sosial dan pekerjaan sosial di inggris, yang berpendapat bahwa kesejahteraan sosial adalah “the handmaiden of the process of production.” Agar terus hidup dan Berjaya,masyarakat harus memiliki beberapa piranti untuk memelihara keteraturan,mempertahankan perubahan,menciptakan angkatan kerja yang kuat dan terampil,serta memproduksi dirinya sendiri untuk masa depan. Sistem kesejahteraan sosial memiliki fungsi untuk mempromosikan investasi sosial semacam ini (Spicker, 1988;1995). Menurut Gosta Esping-Anderson,kebijakan sosial di swedia telah mampu mendukung pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja dan tidak hanya sekedar merespon kebutuhan sosial (Midgley,1995).

Dalam buku sebelumnya, The Social Dimensions of Development:Social Policy and Planning in the Third World, Hardiman dan Midgley (1982) berpendapat bahwa penanganan masalah sosial di Dunia Ketiga seharusnya lebih di fokuskan kepada kemiskinan,karena merupakan masalah dominan dan mempengaruhi masalah sosial lainnya. Namu mengingat kemiskinan di negara berkembang memiliki karakteristik yang berbeda dengan negara-negara industry maju ,maka strategi yang di gunakan di negara maju tidak dapat begitu saja diadopsi negara berkembang. Oleh karena itu,selain menyatukan dua perspektif dan ideology kesejahteraan sosial yang tadinya berlawanan,perspektif pengembangan juga muncul sebagai reaksi terhadap tiga strategi peningkatan kesejahteraan sosial,yakni filantropi sosial, pekerjaan sosial ,dan administrasi sosial,yang dianggap Midgley terlalu didominasi oleh pendekatan residual dan program-program sosial yang bersifat remedial dan kuratif.

Metoda pekerjaan sosial yang bermatra klinis,yang seringkali digunakan para pekerja sosial di negara-negara maju,dipandang Midgley kurang tepat jika digunakan dalam menangani kemiskinan. Sebagai ilustrasi,kemiskinan di AS banyak disebabkan oleh factor-faktor yang bersifat individual,seperti kesehatan yang buruk, kecacatan fisik, kecacatan mental, masalah emosional, alkoholisme, dan penyalahgunaan narkoba (Zastrow,2000)dan karenanya cocok ditangani dengan metode casework atau terapi individu dan konseling. Sedangkan di kemiskinan di Indonesia lebih di sebabkan oleh factor-faktor structural, semisal KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme)atau sistem pendidikan,kesehatan dan jaminan sosial yang kurang memadai.


                          Sumber: definisi ini di ambil dari Buku Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat;
EDY SUHARTO.









                                                            



Tidak ada komentar:

Posting Komentar